Surat Dari Kakak pada Adiknya
Dimulai tahun 2024 hingga 2025, Duniaku ini sendiri pun tampak bingung apakah ia sedang belajar tentang pendidikan, atau justru belajar tentang hidupnya sendiri.r
Manusia berlomba menciptakan gelar, namun lupa belajar mengenal dirinya. Sekolah-sekolah menjadi pabrik nilai, sementara hati menjadi ruang kosong tanpa cahaya.
Di kota-kota, bangunan menjulang tinggi,
tetapi kebijaksanaan semakin rendah. Teknologi berbicara tentang masa depan, namun lupa menanyakan: “Apakah kita masih manusia?”
Sementara itu, di tanah yang jauh dari sorotan,
anak-anak madura belajar membaca dari alam.
Mereka mendengar suara sungai, mereka menulis puisi lewat jejak kaki di tanah. Di sanalah pendidikan sejati hidup di antara kesunyian, di antara kasih terhadap bumi.
Dunia mungkin bingung belajar, tetapi alam tidak pernah bingung mengajar. Ia mengajarkan kesetiaan, mengajarkan keseimbangan, dan mengingatkan manusia bahwa hidup bukan sekadar hafalan, melainkan perjalanan menuju pengertian.
Modernitas datang seperti badai tanpa tanda.
Ia membawa layar, kabel, dan janji kemajuan.
Tetapi di balik cahaya itu, pelan-pelan ia mencuri sesuatu jiwa manusia madura.
Anak-anak mulai malu menyebut nama kampungnya. Bahasa ibu perlahan terdiam, digantikan kata-kata asing yang tak punya rasa tanah. Sekolah mengajarkan cara menghitung laba, tetapi tidak mengajarkan bagaimana menanam sagu dengan hati.
Guru datang dengan buku tebal, namun lupa bahwa di balik setiap pohon ada pengetahuan leluhur. Lembah-lembah menjadi sunyi, karena nyanyian adat diganti suara pengeras dari kota.
Modernitas membuat manusia madura berjalan dua arah: satu kaki di dunia adat, satu kaki di dunia yang menjanjikan pekerjaan, gaji, dan status. Namun di antara dua dunia itu,
jiwa mereka retak seperti cermin yang memantulkan dua bayangan.
Pendidikan yang dijanjikan untuk “membebaskan” justru menundukkan.
Ia menjauhkan anak-anak dari kebun, dari sungai, dari cerita nenek. Mereka belajar membaca buku, tetapi lupa membaca langit dan tanda-tanda alam.
Namun tidak semua hilang. Masih ada yang melawan dengan diam: para tetua yang terus bercerita di api unggun, anak muda yang menulis puisi dalam bahasa ibu, dan para ibu yang menanam dengan doa leluhur di bibirnya.
Mereka tahu modernitas boleh datang,
tetapi akar budaya tidak boleh dicabut.
Karena tanpa akar, manusia hanyalah bayangan yang kehilangan tanahnya.
Komentar
Posting Komentar