Kajian Kritis - Transformatif PMII atas Isu - isu kenegaraan dan kebangsaan

 Kegelisahan Ruang Publik dan Ruang Digital



Penelitian ini dikembangkan sebagai respon intelektual terhadap gejolak sosial yang memuncak antara Agustus dan September 2025. Gelombang protes yang melanda beberapa kota di Indonesia bukanlah peristiwa tunggal, melainkan manifestasi dari penguraian dan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara. Penyebab utamanya adalah kombinasi ketidakpekaan elit politik, yang tercermin dalam pengesahan subsidi perumahan kemewahan bagi anggota DPR di tengah kesulitan ekonomi rakyat, dengan kekejaman aparat yang nyata, terutama kejadian tragis yang berani membunuh Afghani, seorang sopir taksi, setelah ditabrak mobil polisi. Kejadian ini menggambarkan betapa jauhnya jarak antar negara dan realitas kehidupan warga negara.

Di tengah eskalasi tersebut, muncul sebuah fenomena pergerakan sosial modern yang dimotori oleh kekuatan digital: "17+8 Tuntutan Rakyat". Diinisiasi oleh gabungan yang cair antara organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan serikat buruh, gerakan ini berhasil mengkristalisasi beragam aspirasi publik yang sebelumnya disebarkan menjadi sebuah agenda politik yang koheren dan terstruktur. Platform media sosial menjadi arena utama mobilisasi dan amplifikasi isu, menunjukkan pergeseran ekosistem demokrasi di mana “suara jalanan” kini bergema kuat melalui kanal-kanal digital, menuntut respons yang cepat dan substantif dari para pemangku kepentingan kebijakan. Tuntutan ini secara komprehensif menyasar akar persoalan di bidang ekonomi, hukum, dan reformasi kelembagaan, yang kemudian menjadi kerangka analisis utama dalam kajian ini.


         Kajian ini memposisikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai jembatan intelektual yang menghubungkan energi gerakan sosial dengan ruang-ruang perumusan kebijakan. Tujuannya bukan sekadar merangkum tuntutan, melainkan membedahnya secara akademis, menyediakan fondasi data yang berubah-ubah, dan merumuskannya ke dalam rekomendasi kebijakan yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Paradigma yang digunakan adalah kritis-transformatif: sebuah pendekatan yang tidak berhenti pada kritik atas kebijakan yang ada, tetapi melampauinya dengan menawarkan solusi alternatif yang dihapuskan pada dua pilar fundamental bangsa, yakni nilai-nilai Keindonesiaan (Pancasila dan UUD 1945) dan nilai-nilai Keislaman (Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah). Dengan demikian, kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan advokasi yang strategis dan berbobot bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.


Bagian I


Paradoks Ketenagakerjaan;

Antara Janji Lapangan Kerja dan Realitas Badai PHK


1.1. Data Kontradiksi: Ilusi Pemulihan Ekonomi di Tingkat Makro


          Pemerintah secara konsisten menyajikan pemulihan dan penguatan pasar kerja nasional. Narasi ini didukung oleh data statistik makro yang menunjukkan penciptaan 3,59 juta lapangan kerja baru antara Februari 2024 dan Februari 2025, serta penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dari 4,82% menjadi 4,76% pada periode yang sama. Di atas kertas, angka-angka ini menciptakan sebuah ilusi bahwa kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sedang bergerak ke arah yang positif.


    Namun narasi makroekonomi tersebut disampaikan secara berbeda dengan kenyataan yang dialami para pekerja di tingkat mikro. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode yang sama justru menunjukkan sebuah anomali yang mencerminkan: di balik penurunan persentase TPT, jumlah absolut kemiskinan justru meningkat dari 7,19 juta menjadi 7,28 juta orang. Artinya, terdapat penambahan 83.000 penganggur baru dalam satu tahun. Kontradiksi ini semakin diperparah oleh data Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang menunjukkan eskalasi yang signifikan. Hingga 20 Mei 2025, tercatat 26.455 pekerja telah di-PHK. Angka ini, yang baru mencakup kurang dari setengah tahun, sudah melampaui total angka PHK sepanjang tahun 2024 yang mencapai 77.965 orang. Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta menjadi episentrum dari gelombang PHK ini, menegaskan bahwa krisis ketenagakerjaan dipusatkan pada pusat-pusat industri dan ekonomi.  


      Fenomena ini menunjukkan adanya sebuah paradoks pertumbuhan tanpa penyerapan energi kerja yang berkualitas. Penurunan TPT yang dibarengi dengan peningkatan jumlah penurunan absolut menunjukkan bahwa pertumbuhan angkatan kerja (yang mencapai 3,67 juta orang) tidak diimbangi oleh penciptaan lapangan kerja formal yang memadai dan berkualitas. Lapangan kerja yang tercipta kemungkinan besar bersifat informal, paruh waktu, atau berkualitas rendah, yang tidak mampu menyerap seluruh angkatan kerja baru dan para korban PHK. Ini adalah gejala klasik dari pertumbuhan ekonomi yang melemahkan atau pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif. Pemerintah, dengan fokus pada indikator persentase (TPT), berisiko terjebak dalam "ilusi statistik" dan gagal mengumpulkan kerapuhan pasar kerja yang sebenarnya. Ketidaksesuaian antara narasi resmi pemerintah dengan pengalaman hidup masyarakat inilah yang menjadi salah satu bahan bakar utama bagi ketidakpercayaan dan kemarahan masyarakat.

Tabel 1: Data Paradoks Ketenagakerjaan Indonesia (Februari 2024 vs. Februari 2025)

Indikator

Februari 2024

Februari 2025

Perubahan & Analisis

Angkatan Kerja

149,38 Juta

153,05 Juta

Naik 3,67 Juta (Bonus demografi yang menjadi tantangan penyerapan)

Penduduk Bekerja

142,19 Juta

145,77 Juta

Naik 3,59 Juta (Pertumbuhan lapangan kerja lebih rendah dari pertumbuhan angkatan kerja)

Jumlah Pengangguran (Absolut)

7,19 Juta

7,28 Juta

Naik 83.000 orang  (Menunjukkan kegagalan penyerapan energi kerja secara riil)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

4,82%

4,76%

Turun 0,06%  (Indikator persentase yang menutupi realitas kenaikan jumlah kemiskinan)

Jumlah Korban PHK (Jan-Mei)

~24.036 (s/d April 2024)

26.455 (s/d Mei 2025)

Tren Meningkat Tajam  (Menunjukkan kerapuhan pasar kerja yang semakin parah)

Sumber: Olahan data dari BPS dan Kemnaker  

 

1.2. Analisis Akar Masalah: Kombinasi Tekanan Global dan Deregulasi Domestik


            Gelombang PHK yang terjadi pada tahun 2025 tidak disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan kombinasi kompleks antara tekanan eksternal dan kerapuhan struktural di dalam negeri. Dari sisi eksternal, perlambatan perekonomian global, terutama di negara-negara tujuan ekspor utama seperti Amerika Serikat dan Eropa, secara langsung menekan sektor industri yang berorientasi ekspor. Di sisi domestik, pelemahan daya beli masyarakat yang tercermin dari data deflasi pada Mei 2025, ditambah dengan produk serbuan impor, menciptakan tekanan ganda bagi industri nasional. Sektor-sektor karya padat seperti tekstil, alas kaki, dan manufaktur menjadi yang paling terpukul oleh kombinasi faktor ini.


     Di tengah tekanan tersebut, kerangka regulasi ketenagakerjaan yang ada, khususnya Undang-Undang Cipta Kerja, justru berperan sebagai akselerator krisis, bukan sebagai solusi. UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, yang dirancang dengan dalih untuk menarik investasi melalui "fleksibilitas" pasar kerja, dalam praktiknya telah menciptakan kondisi kerja yang semakin rentan dan tidak pasti (precarity). Regulasi ini secara signifikan memperluas cakupan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing) tanpa batasan yang jelas, mengubah formula pesangon menjadi lebih rendah, dan tidak mengandung prosedur PHK. Akibatnya, serikat pekerja secara konsisten menyuarakan tuntutan revisi terhadap klaster ketenagakerjaan, termasuk transaksi non-outsourcing, pengembalian opsi libur dua hari dalam seminggu, dan pembayaran skema upah yang lebih adil.  


      Kondisi ini menciptakan sebuah rantai sebab-akibat yang destruktif. Ketika perusahaan menghadapi tekanan ekonomi, UU Cipta Kerja menyediakan jalan keluar yang paling mudah dan murah secara hukum: melakukan efisiensi dengan mem-PHK pekerja tetap dan menggantinya dengan pekerja kontrak atau outsourcing yang lebih murah, tidak memiliki jaminan kerja, dan meminimalkan kompensasi. Dengan demikian, UU yang awalnya bertujuan menciptakan lapangan kerja justru menjadi instrumen yang melegitimasi dan mempercepat laju PHK massal. Hal ini secara langsung bertentangan dengan tujuan awal UU tersebut dan menjadi pemicu utama tuntutan kaum buruh dalam gelombang aksi massa.


1.3. Evaluasi Jaring Pengaman Sosial: JKP sebagai Solusi Tambal Sulam


            Sebagai respons terhadap meningkatnya PHK, pemerintah merevisi skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025. Kebijakan ini menaikkan manfaat uang tunai bagi pekerja yang ter-PHK menjadi 60% dari upah terakhir selama enam bulan, sebuah peningkatan signifikan dari skema sebelumnya. Namun, di balik niat baik tersebut, efektivitas program ini sebagai jaring pengaman sosial yang komprehensif masih sangat diragukan.  


            Lonjakan tajam klaim JKP pada Kuartal I 2025, yang mencapai 100,6% secara tahunan, memang menunjukkan bahwa program ini diakses, tetapi sekaligus menjadi konfirmasi atas masifnya gelombang PHK. Di sisi lain, banyak pekerja yang seharusnya berhak justru gagal mengajukan klaim. Penyebab utamanya adalah syarat administratif yang rumit dan memberatkan, terutama kewajiban untuk menjadi peserta aktif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan. Syarat ini menjadi jebakan birokrasi yang mengabaikan kenyataan bahwa banyak pekerja, terutama di perusahaan kecil, seringkali mengalami tunggakan iuran JKN bukan karena kelalaian pribadi, melainkan karena masalah administratif atau finansial di tingkat perusahaan. Lebih jauh lagi, program JKP secara fundamental eksklusif karena hanya mencakup pekerja di sektor formal, meninggalkan jutaan pekerja informal yang notabene paling rentan terhadap guncangan ekonomi tanpa perlindungan sama sekali. Terdapat pula kekhawatiran serius mengenai keinginan fiskal JKP jika tren PHK massal terus berlanjut tanpa ada perbaikan fundamental di pasar kerja.  


   Secara lebih kritis, program JKP ini dapat dipandang sebagai subsidi terselubung bagi perusahaan. Dengan adanya JKP yang menanggung sebagian beban finansial pekerja pasca-PHK, "biaya sosial" bagi perusahaan untuk melakukan pemecatan menjadi lebih rendah. Hal ini berpotensi menciptakan moral hazard, di mana perusahaan menjadi lebih mudah mengambil keputusan PHK karena mengetahui bahwa dampaknya terhadap pekerja sebagian telah dialihkan dan ditanggung oleh negara melalui dana BPJS Ketenagakerjaan. Pada akhirnya, JKP yang dirancang sebagai jaring pengaman bagi pekerja, justru berisiko melanggengkan siklus PHK itu sendiri jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang kuat untuk mendorong retensi pekerja.


1.4. Tinjauan Keadilan Sosial dalam Bingkai Keindonesiaan dan Keislaman


            Persoalan ketenagakerjaan ini pada hakikatnya adalah persoalan keadilan yang menyentuh fondasi filosofis dan yuridis bangsa. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Realitas badai PHK, meluasnya praktik kontrak kerja yang tidak menentu, dan upah yang tidak layak merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanat konstitusional tersebut. Lebih dari itu, Sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” menuntut negara untuk secara aktif menciptakan kebijakan yang melindungi kelompok-kelompok rentan, termasuk kaum buruh, dari eksploitasi dan perlindungan ekonomi.  


            Perspektif Islam memperkuat amanat keadilan ini dengan landasan teologis yang kokoh. Islam memandang kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan sebagai bentuk ibadah dan martabat manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifah fil ardh). Prinsip keadilan (al-'adalah) dalam muamalah Islam menuntut adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan pekerja. Hal ini mencakup pemberian upah yang layak dan tepat waktu sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” serta larangan untuk membebani pekerja di luar kemampuannya. Konsep upah layak dalam Islam pun tidak hanya sebatas upah minimum formal, melainkan upah yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara manusiawi dan paksaan (kifayah). Dengan demikian, setiap kebijakan negara yang menyederhanakan PHK dan menekan upah secara fundamental bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang diamanatkan baik oleh Pancasila maupun ajaran Islam.  


1.5 Pernyataan Penutup: Urgensi Sikap PMII di Tengah Krisis Ketenagakerjaan


            Urgensi isu ini terletak pada penggerusan hak-hak paling mendasar bagi warga negara yang dijamin konstitusi. Badai PHK dan sistem kerja yang prekarius bukan sekadar angka statistik, melainkan tragedi kemanusiaan yang mengancam jutaan keluarga Indonesia. PMII harus memposisikan dirinya sebagai garda terdepan dalam membela martabat kaum pekerja. Sikap PMII harus tegas: menolak segala bentuk kebijakan yang mengorbankan keamanan kerja (keamanan kerja) demi dalih janji pasar dan investasi. Perjuangan ini merupakan wujud komitmen PMII terhadap keadilan sosial, memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak meninggalkan siapa pun di belakang, terutama mereka yang paling rentan. Ini adalah panggilan untuk menerjemahkan nilai-nilai Keislaman dan Keindonesiaan ke dalam aksi nyata pembelaan kaum tertindas (mustadh'afin).


Bagian II


Keadilan Fiskal yang Tertunda: Reformasi Pajak untuk Siapa?


2.1. Anomali Rasio Pajak: Kapasitas Fiskal yang Tergerus


            Kesehatan fiskal suatu negara tecermin dari kemampuannya mengumpulkan pendapatan, di mana rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio menjadi indikator kuncinya. Pada saat ini, Indonesia menghadapi situasi yang sangat menyedihkan. Rasio pajak menunjukkan tren penurunan yang konsisten dan tajam: dari 10,38% pada tahun 2022, turun menjadi 10,08% pada tahun 2024, dan kemudian menurun drastis ke level 8,42% pada Semester I 2025. Proyeksi untuk keseluruhan tahun 2025 pun dipatok pesimis, hanya di angka 10,03%.


            Anomali ini menjadi semakin jelas ketika data tersebut disandingkan dengan angka pertumbuhan PDB yang relatif stabil, yakni 5,12% pada Kuartal II 2025. Terjadinya dekorelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan pajak menandakan adanya masalah struktural yang serius. Seharusnya, ketika ekonomi tumbuh, basis pajak melebar dan penerimaan negara meningkat. Namun yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa keuntungan dari pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya berhasil ditangkap oleh negara dalam bentuk pajak. Pertumbuhan tersebut kemungkinan besar menyenangkan di sektor-sektor yang sulit dipajaki, seperti ekonomi informal dan ekonomi digital, atau dinikmati oleh korporasi-korporasi besar yang memiliki kemampuan canggih untuk melakukan praktik penghindaran pajak.  


            Kondisi ini diperburuk oleh realisasi penerimaan pajak yang jauh dari target. Hingga Mei 2025, penerimaan pajak mengalami kontraksi sebesar 7,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hingga akhir Semester I 2025, realisasi penerimaan baru mencapai Rp978,3 triliun atau setara dengan 39,3% dari target APBN. Implikasi dari tergerusnya kapasitas fiskal ini sangat serius: kemampuan negara untuk membiayai layanan esensial publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan jaring pengaman sosial menjadi sangat terbatas. Akibatnya, negara terpaksa semakin bergantung pada sumber pembiayaan lain, terutama utang, yang bebannya akan diwariskan kepada generasi mendatang.  


2.2. Tantangan Struktural: Ekonomi Bayangan dan Penghindaran Pajak Korporasi


            Rendahnya rasio pajak Indonesia bukanlah masalah sementara, melainkan dihilangkan pada dua persoalan struktural yang kronis. Pertama, masifnya sektor ekonomi informal atau shadow economy. Kajian dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa sekitar 59% dari total angkatan kerja di Indonesia beraktivitas di sektor informal. Akibatnya, dasar wajib pajak formal menjadi sangat sempit. Dari 145 juta penduduk usia kerja, hanya sekitar 17 juta orang yang tercatat aktif membayar pajak. Sektor informal, yang mencakup jutaan UMKM, pedagang, dan pekerja lepas, secara de facto berada di luar jangkauan sistem perpajakan formal, menyebabkan potensi penerimaan negara yang sangat besar menguap begitu saja.  


            Kedua, lemahnya kepatuhan pajak dari kalangan korporasi besar. Praktik penghindaran pajak (tax hindaran) dan penggelapan pajak (tax evasion) oleh korporasi diduga marak terjadi melalui skema-skema canggih seperti transfer pricing, yakni praktik mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah (tax haven). Sektor industri berbasis sumber daya alam, yang merupakan salah satu motor utama perekonomian Indonesia, disinyalir menjadi salah satu area yang paling rawan melakukan praktik penghindaran pajak ini.


            Kegagalan negara untuk menjangkau dua sumber potensi pajak terbesar ini menciptakan sebuah ketidakadilan mendasar. Selama ini, upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak cenderung menyasar kelompok yang sudah patuh dan mudah dilacak, yaitu kelas menengah dan pekerja formal. Sementara itu, "ikan-ikan jeda" penerimaan negara (sektor informal yang masif dan korporasi besar yang licin) masih relatif sulit dijangkau. Ini bukan sekedar masalah teknis administrasi perpajakan, namun lebih dalam lagi, ini adalah cerminan dari lemahnya kemauan politik (politik will) untuk menegakkan pemerintahan secara adil dan tanpa memandang bulu. Akibatnya, beban pajak secara tidak proporsional ditanggung oleh kelompok yang relatif lebih kecil dan lebih patuh, sementara potensi penerimaan terbesar dibiarkan hilang.


2.3. Struktur Beban Pajak: Pergeseran Beban ke Pundak Pekerja


            Analisis terhadap postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengungkap sebuah anomali kebijakan yang sangat signifikan dan berpotensi memperparah ketimpangan sosial. Dalam dokumen APBN tersebut, pemerintah secara mengejutkan menurunkan target penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan (korporasi) sebesar 14%. Sebaliknya, pada saat yang sama, target penerimaan PPh Pasal 21 (karyawan/pekerja) justru dituangkan secara drastis sebesar 46%.


            Kebijakan ini secara eksplisit menunjukkan adanya pergeseran beban fiskal dari pundak korporasi ke pundak kaum pekerja. Target penurunan PPh Badan dapat diinterpretasikan sebagai sinyal "kelonggaran" atau insentif yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha di tengah kondisi perekonomian yang melambat. Namun, target kenaikan PPh 21 yang sangat tajam mengindikasikan bahwa pemerintah berupaya menambal potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan cara mengintensifkan pungutan dari dasar pajak yang paling mudah diakses dan paling patuh: para pekerja formal yang gajinya dipotong langsung oleh perusahaan.


          Meskipun pemerintah juga memberikan insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor padat karya tertentu dengan batas penghasilan di bawah Rp10 juta per bulan, kebijakan ini bersifat parsial, temporer, dan tidak mengatasi masalah mendasar pergeseran beban pajak. Rantai sebab-akibat dari kebijakan ini sangat jelas. Ketika penerimaan negara terjadi akibat masalah struktural, alih-alih melakukan reformasi fundamental yang sulit secara politik (seperti mengejar korporasi besar dan memperluas basis pajak ke sektor informal), pemerintah memilih jalan pintas dengan menempatkan kelompok yang sudah ada dalam sistem. Akibatnya, di tengah daya beli yang sudah tertekan oleh inflasi dan ancaman PHK, kaum pekerja formal justru harus menanggung beban negara yang lebih besar, sementara korporasi mengalami kekeringan. Ini adalah sebuah resep kebijakan yang secara inheren tidak adil dan berpotensi memicu ketidakpuasan sosial yang lebih luas.  


2.4. Perspektif Keadilan Pajak dalam Bingkai Keislaman dan Keindonesiaan


         Tuntutan "Susun Rencana Reformasi Perpajakan yang Lebih Adil" yang menjadi salah satu dari delapan tuntutan jangka panjang dalam gerakan "17+8" adalah cerminan dari aspirasi publik yang mendalam akan sebuah sistem fiskal yang tidak hanya efisien, tetapi juga berkeadilan. Aspirasi ini selaras dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan ajaran Islam.


     Sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” secara implisit mengamanatkan bahwa sistem pajak harus berfungsi sebagai instrumen utama untuk mendistribusikan kembali kekayaan dan mengurangi ketimpangan. Sebuah sistem yang bebannya lebih berat ditanggung oleh kelas pekerja sementara memberikan kelonggaran bagi korporasi adalah sebuah antitesis dari prinsip keadilan sosial itu sendiri.


    Dalam perspektif Islam, organisasi-organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pada prinsipnya memandang pajak sebagai sebuah kewajiban warga negara (dharibah) yang dapat dibenarkan syariat demi terwujudnya kemaslahatan umum (maslahah 'ammah), dengan syarat-syarat yang ketat. Syarat utamanya adalah keadilan. Pajak harus dipungut secara proporsional sesuai dengan kemampuan membayar (progresif) dan tidak boleh memberatkan kelompok masyarakat miskin dan rentan. Apalagi terdapat pandangan tegas bahwa menarik pajak dari orang miskin hukumnya adalah haram. Konsep keadilan fiskal dalam Islam juga menekankan bahwa hasil pungutan pajak harus dialokasikan secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, kebijakan fiskal yang lebih membebani pekerja daripada pemilik modal secara fundamental bertentangan dengan prinsip keadilan yang menjadi inti dari ajaran Islam dan falsafah Pancasila.  


2.5 Pernyataan Penutup: Urgensi Sikap PMII dalam Reformasi Fiskal


   Urgensi isu ini adalah ancaman terhadap fiskal negara dan kemampuan untuk menyejahterakan rakyat. Sistem yang pajak tidak adil, yang membebani kaum pekerja dan kelas menengah sementara membiarkan korporasi besar dan shadow economy leluasa, adalah bentuk pengkhianatan terhadap kontrak sosial. PMII harus menjadi motor penggerak wacana reformasi perpajakan yang berkeadilan. Sikap PMII harus jelas: menuntut sistem pajak progresif yang berpihak pada keadilan sosial, memperluas basis pajak secara adil, dan memastikan setiap rupiah pajak digunakan untuk kemaslahatan umum. Ini adalah perjuangan untuk memastikan negara memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan amanat konstitusi tanpa harus mengorbankan rakyat kecil.


Bagian III


Krisis Negara Hukum: Reformasi Polri dan Urgensi Perampasan Aset


Sub-Bagian A: Membenahi Garda Terdepan Keadilan: Reformasi Polri yang Substansial


3.1.1. Darurat Kepercayaan Publik: Data dan Fakta di Lapangan


        Kepercayaan masyarakat terhadap institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berada pada titik yang diidentifikasi. Data kuantitatif dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengkonfirmasi persepsi ini secara tegas. Dalam laporan tahunan yang dirilis pada Juli 2025, Polri tercatat sebagai institusi negara yang paling banyak diadukan terkait dugaan pelanggaran HAM sepanjang tahun 2024, dengan total 751 aduan. Angka ini menjadi bukti empiris bahwa masalah dalam tubuh Polri bukanlah kejadian kasuistik, melainkan bersifat sistemik.  


     Krisis kepercayaan ini diperparah oleh serangkaian peristiwa kekerasan aparat yang terjadi sepanjang tahun 2025. Puncaknya adalah brutalitas yang dipertontonkan dalam penanganan unjuk rasa pada bulan Agustus-September, yang menyebabkan terbunuhnya Affan Kurniawan. Peristiwa ini menjadi simbol kegagalan reformasi kultural Polri, di mana pendekatan represif dan kekerasan masih menjadi pilihan utama dalam menghadapi dinamika sosial. Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari lembaga-lembaga kredibel seperti ICW, KontraS, dan YLBHI, secara konsisten mendokumentasikan berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh aparat, mulai dari penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa unjuk rasa, hingga pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killer). Rangkaian fakta ini menunjukkan bahwa budaya kekerasan telah mengakar dan menjadi masalah serius yang menuntut reformasi substansial, bukan sekadar perbaikan seremonial.  


3.1.2. Analisis Institusional: Anggaran, Pengawasan, dan Budaya Impunitas


      Akar masalah dalam institusi Polri dapat ditelusuri melalui tiga aspek mendasar: prioritas anggaran yang salah, lemahnya mekanisme pengawasan, dan budaya impunitas yang melanggengkan pelanggaran.


   Pertama, alokasi anggaran Polri mencerminkan prioritas yang salah. Dalam Rancangan APBN 2025, Polri mendapatkan alokasi total sebesar Rp126 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi yang sangat besar, mencapai Rp52,7 triliun hingga Rp58,1 triliun, dialokasikan untuk program “Modernisasi Alat Material Khusus (Almatsus) dan Sarana-Prasarana”. Anggaran untuk pengadaan alat pengendali massal, termasuk kendaraan taktis (rantis), dalam lima tahun terakhir (2021-2025) bahkan mencapai Rp2,6 triliun. Alokasi jumbo untuk perangkat keras ini sangat kontras dengan anggaran untuk program "Profesionalisme Sumber Daya Manusia (SDM)" yang hanya sekitar Rp1,2 triliun. Ketimpangan ini merupakan cerminan dari doktrin keamanan negara yang masih bersifat represif, yang memandang warga negara sebagai potensi ancaman, bukan sebagai subjek yang harus dilayani. Negara, melalui persetujuan pemerintah dan DPR, lebih memilih membiayai "tongkat" daripada "negosiasi", yang pada akhirnya menciptakan lingkaran setan kekerasan dan ketidakpercayaan masyarakat.  


    Kedua, mekanisme pengawasan eksternal terhadap Polri terbukti tidak efektif. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), yang seharusnya menjadi lembaga pengawas independen, secara luas dinilai “tidak bertaring”. Rekomendasi yang dikeluarkan Kompolnas tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu, komposisinya yang didominasi oleh unsur pemerintah membuatnya rentan terhadap politisasi dan cenderung berfungsi sebagai lembaga yang melegitimasi tindakan Polri, alih-alih mengawasinya secara kritis dan independen. 


   Ketiga, kombinasi dari lemahnya pengawasan internal dan eksternal, ditambah dengan dominasi Polri dalam sistem pidana pidana, telah melanggengkan budaya impunitas. Anggota Polri yang melakukan pelanggaran berat hanya dikenakan sanksi ringan melalui sidang etik internal, dan jarang sekali diproses melalui kejahatan yang transparan dan akuntabel. Budaya ini mengirimkan sinyal berbahaya bahwa pelanggaran oleh aparat dapat ditoleransi, yang pada akhirnya terus menghasilkan kekerasan dan izin resmi.  


3.1.3. Refleksi Konstitusional dan Teologis: Menuju Polri yang Amanah


      Reformasi Polri harus dikembalikan pada landasan filosofis dan yuridisnya. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara fundamental menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Prinsip ini mengamanatkan bahwa seluruh tindakan negara, terutama yang melibatkan penggunaan paksaan, harus didasarkan pada hukum yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan atas dasar kekuasaan absolut. Setiap tindakan sewenang-wenang dan kekerasan yang dilakukan aparat negara merupakan bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara hukum itu sendiri.  


            Dalam perspektif Islam, konsep kepemimpinan dan kekuasaan terikat erat dengan prinsip amanah. Kekuasaan, termasuk berwenang untuk menegakkan hukum dan menggunakan kekerasan yang sah, adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari Tuhan dan rakyat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Polri, sebagai lembaga yang memegang amanah tersebut, memikul amanah yang sangat besar. Setiap kriminalitas, korupsi, dan kekerasan adalah bentuk pengkhianatan (khianat) terhadap amanah tersebut. Oleh karena itu, reformasi Polri yang sejati harus dimulai dari internalisasi nilai-nilai amanah, akuntabilitas, dan pelayanan di setiap jenjang organisasi, dari pimpinan tertinggi hingga anggota di lapangan.  


Sub-Bagian B: Memutus Urat Nadi Korupsi: Desakan Pengesahan RUU Perampasan Aset


3.2.1. Analisis Politik Legislasi: Sejarah Panjang Penolakan Terselubung


          Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset merupakan salah satu agenda legislasi paling krusial, sekaligus paling problematis dalam sejarah politik hukum Indonesia. Digagas sejak lebih dari satu dekade lalu, RUU ini secara sistematis selalu gagal masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas di DPR, termasuk untuk tahun 2025. Meskipun Presiden Prabowo Subianto telah secara terbuka menyatakan dukungan dan berjanji untuk mempercepat pembahasannya sebagai respons langsung atas tuntutan publik, RUU ini tetap terkatung-katung tanpa kejelasan. Argumen yang sering dikemukakan anggota DPR, seperti perlunya kehati-hatian agar tidak tumpang tindih dengan UU lain, lebih terlihat sebagai taktik untuk mengulur waktu dibandingkan alasan yuridis yang substantif.  


            Kegagalan DPR secara sistematis dalam membahas RUU ini, meskipun urgensinya sangat tinggi dan didukung oleh eksekutif serta publik, tidak dapat dijelaskan hanya dengan alasan teknis-yuridis. Hal ini secara kuat mengindikasikan adanya sebuah blokade politik dari kelompok kepentingan (vested interest) yang sangat kuat, baik di dalam maupun di luar parlemen. Kelompok-kelompok inilah yang paling akan dirugikan jika RUU ini disahkan, karena aset-aset mereka yang diduga diperoleh dari hasil kejahatan ekonomi dan korupsi dapat menjadi sasaran utama dari UU ini. Mandeknya pembahasan RUU Perampasan Aset adalah simbol paling nyata dari fenomena state capture, di mana proses legislasi disandera oleh kepentingan segelintir elite, mengalahkan kepentingan publik yang lebih besar dalam pemberantasan korupsi.


3.2.2. Urgensi dan Poin Krusial dalam RUU


        Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset tidak dapat ditawar lagi. Tanpa instrumen hukum ini, negara berada dalam posisi yang sangat lemah untuk memulihkan kerugian finansial akibat kejahatan ekonomi, terutama korupsi. Hukum pidana yang berlaku saat ini mensyaratkan adanya pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) terhadap pelaku untuk dapat merampas asetnya. Akibatnya, aset hasil kejahatan seringkali tidak bisa dirampas jika penipu meninggal dunia, melarikan diri, atau bahkan dibebaskan dari tuntutan pidana pokoknya karena berbagai alasan teknis. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa kerugian negara akibat korupsi mencapai ratusan triliun rupiah, namun tingkat pengembalian aset (asset recovery rate) sangat rendah, seringkali tidak mencapai 10-30% dari total kerugian.  


    Untuk memastikan efektivitasnya, RUU Perampasan Aset harus memuat beberapa poin krusial yang menjadi pelanggaran hukum. Berdasarkan masukan dari masyarakat sipil dan para pakar hukum, poin-poin tersebut antara lain:


Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based Asset Forfeiture): Mekanisme yang memungkinkan negara mengajukan gugatan perdata untuk merampas aset yang diduga kuat berasal dari tindak pidana, tanpa harus menunggu hukuman pidana terhadap pelakunya.  

Pembuktian Terbalik atas Kekayaan Tidak Wajar (Unexplained Wealth): Membalikkan beban pembuktian kepada kejutan, di mana mereka harus mampu menjelaskan asal-usul kekayaannya yang tidak sesuai dengan profil pendapatannya yang sah.  

Definisi Aset dan Tindak Pidana Asal yang Luas: Mencakup berbagai jenis aset (bergerak, tidak bergerak, di dalam maupun luar negeri) dan berbagai jenis kejahatan serius sebagai tindak pidana asal (predicate crime).  

Prosedur yang Jelas: mengatur secara detail mekanisme pemblokiran, penyertaan, pengelolaan aset sitaan, dan pembentukan lembaga pengelola aset terpadu untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan enkripsi.  

Perlindungan Pihak Ketiga: Memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik yang mungkin secara tidak sengaja terkait dengan aset yang dirampas.       

3.2.3. Landasan Fiqh Siyasah dan Keadilan Pancasila


          Desakan untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset memiliki landasan yang kuat, baik dari perspektif hukum tata negara Islam (fiqh siyasah) maupun dari falsafah Pancasila. Dalam fiqh siyasah, korupsi dapat dianalogikan dengan tindakan ghulul (penggelapan harta publik) dan ghasab (perampasan hak milik secara tidak sah). Seorang pemimpin (ulil amri) memiliki wewenang dan bahkan kewajiban untuk mengambil tindakan tegas demi melindungi kemaslahatan umum (maslahah 'ammah). Tindakan merampas kembali aset negara yang telah dicuri oleh koruptor bukanlah sebuah hukuman baru, melainkan sebuah tindakan restoratif untuk mengembalikan hak kolektif umat atau rakyat yang telah dirampas secara zalim.  


          Dari perspektif Pancasila, korupsi adalah bentuk pencurian terhadap hak seluruh rakyat Indonesia atas kesejahteraan dan keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan oleh Sila kelima. Membiarkan para koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi lainnya menikmati hasil kejahatan mereka adalah bentuk ketidakadilan yang paling nyata dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, RUU Perampasan Aset bukan sekedar instrumen teknis penegakan hukum, melainkan sebuah instrumen fundamental untuk mewujudkan keadilan sosial dengan menegakkan prinsip bahwa kejahatan tidak boleh memberikan keuntungan (kejahatan tidak ada gunanya).


3. Pernyataan Penutup: Urgensi Sikap PMII dalam Penegakan Hukum


        Urgensi isu ini adalah membusuknya pilar negara hukum dari dalam. Ketika aparat yang seharusnya melindungi justru menjadi sumber ketakutan, dan ketika koruptor dapat menikmati hasil kejahatannya, maka fondasi kepercayaan publik terhadap keruntuhan negara. PMII harus mengambil posisi tanpa kompromi: menjadi pengawal Polri yang substansial dan menjadi suara terdepan yang mendesakkan pengesahan RUU Perampasan Aset. Sikap ini bukan hanya soal teknis hukum, tetapi soal penyelamatan marwah negara hukum itu sendiri. PMII harus memastikan bahwa hukum tegak lurus untuk keadilan, bukan bengkok karena kekuasaan dan uang.


Bagian IV


Ironi di Sektor Pendidikan: Anggaran Besar, Kesejahteraan dan Akses Terabaikan


4.1. Alokasi vs. Realisasi: Membedah Angka 20% APBN


    Secara nominal, pemerintah telah memenuhi amanat konstitusional untuk mengalokasikan 20% dari APBN untuk sektor pendidikan. Dalam APBN 2025, total alokasi anggaran pendidikan mencapai angka fantastis sebesar Rp724,3 triliun, meningkat dari Outlook tahun 2025 sebesar Rp690 triliun. Namun, di balik angka besar ini, terdapat ironi dalam postur dan tata kelola anggarannya.  


      Postur anggaran pendidikan menunjukkan adanya fragmentasi yang luar biasa. Dari total Rp724,26 triliun, porsi terbesar, yaitu sebesar Rp347,09 triliun (47,9%), dialokasikan dalam bentuk Transfer ke Daerah (TKD). Sementara itu, pagu anggaran yang dikelola langsung oleh kementerian teknis sangat terbatas. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) hanya mengelola Rp33,55 triliun (4,63%), dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) sebesar Rp57,68 triliun (7,96%). Sisa anggaran yang dibelanjakan di berbagai kementerian/lembaga lain dan pos belanja non-K/L yang target peruntukannya seringkali tidak terencana dengan jelas.  


   Angka 20% APBN ini, dengan demikian, menciptakan sebuah "ilusi anggaran besar". Meskipun realisasi anggaran hingga Semester I 2025 dianggap sebagai yang tertinggi dalam lima tahun terakhir, besarnya alokasi nasional tidak secara otomatis berbanding lurus dengan dampak nyata yang dirasakan pada tingkat satuan pendidikan. Desentralisasi anggaran pendidikan melalui TKD dan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) seringkali menghadapi masalah serius dalam implementasinya. Kapasitas perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan di tingkat daerah yang bervariasi, ditambah dengan prosedur birokrasi yang panjang, sering menyebabkan keterlambatan pencairan dan pemanfaatan dana yang tidak efisien. Akibatnya, masalah-masalah kronis di sektor pendidikan seperti rendahnya kesejahteraan guru, sarana prasarana yang tidak memadai, dan kualitas pembelajaran yang stagnan tidak kunjung terselesaikan, bukan karena kekurangan uang secara absolut, melainkan karena masalah mendasar dalam tata kelola, distribusi, dan pengawasan alokasi anggaran yang sangat besar tersebut.  


4.2. Potret Tenaga Pendidik: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Terabaikan


       Di tengah gemerlap angka anggaran pendidikan yang besar, realitas kehidupan para tenaga pendidik, terutama guru honorer, masih jauh dari kata sejahtera. Terdapat disparitas yang sangat tajam antara guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan jutaan guru honorer yang menjadi tulang punggung pendidikan di banyak daerah. Data yang menunjukkan gaji guru honorer di berbagai provinsi seringkali masih berada jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR), berkisar antara Rp3 hingga Rp4 juta di beberapa provinsi, dan bahkan bisa jauh lebih rendah di tingkat kabupaten/kota yang kemampuan fiskalnya terbatas.  


  Meskipun pemerintah telah mengalokasikan program prioritas seperti Aneka Tunjangan Guru Non-ASN sebesar Rp11,54 triliun untuk sekitar 478.694 guru, jumlah ini jelas tidak cukup untuk menjangkau seluruh guru honorer yang jumlahnya mencapai jutaan orang. Pemerintah sendiri mengakui adanya masalah kesejahteraan guru dan dosen yang rendah, namun solusi yang ditawarkan hingga saat ini masih bersifat parsial dan belum menyentuh akar permasalahan status dan penggajian yang adil. Negara tidak bisa berharap untuk mencapai penghentian kualitas pendidikan nasional jika pilar utamanya, yaitu para guru, masih harus berjuang dengan masalah kesejahteraan dasar. Gaji yang tidak layak tidak hanya berdampak pada kehidupan pribadi guru, tetapi juga secara langsung mempengaruhi motivasi, fokus mengajar, dan kemampuan mereka untuk melakukan pengembangan profesionalisme, yang pada akhirnya akan merugikan kualitas pembelajaran yang diterima oleh para siswa.  


4.3. Evaluasi Wajib Belajar dan "Pendidikan Gratis"


    Pemerintah terus menunjukkan komitmennya untuk memperluas akses pendidikan dengan merencanakan program Wajib Belajar 13 Tahun, yang akan mencakup Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan mulai diterapkan pada tahun ajaran 2025/2026. Namun, rencana ambisius ini harus dihadapkan pada evaluasi kritis terhadap implementasi program wajib belajar yang sudah berjalan. Program Wajib Belajar 9 dan 12 tahun hingga saat ini masih menghadapi banyak kendala mendasar di lapangan, seperti keterbatasan sarana dan prasarana, kekurangan guru yang berkualitas dan merata, serta faktor kemiskinan keluarga yang memaksa anak untuk putus sekolah dan bekerja.  


            Data Angka Putus Sekolah (APS) menunjukkan masalah yang masih serius. Pada tahun 2023, APS di jenjang SD/sederajat sebesar 0,11%, namun melonjak di jenjang SMP/sederajat menjadi 0,98% dan SMA/sederajat 1,03%, angka tertinggi terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Data BPS juga mencatat ada sekitar 4,2 juta anak usia sekolah di Indonesia yang tidak bersekolah. Sementara itu, Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk tingkat Sekolah Menengah (16-18 tahun) masih berada di angka 90,94%, yang berarti hampir 10% anak pada kelompok usia tersebut tidak dapat mengakses pendidikan menengah.


      Fakta ini mengungkap bahwa program "pendidikan gratis" yang selama ini digaungkan melalui Dana BOS tidak sepenuhnya gratis. Meskipun program ini berhasil menghapuskan biaya SPP, masih banyak biaya "tersembunyi" yang harus ditanggung oleh orang tua, seperti biaya seragam, buku, transportasi, dan kegiatan ekstrakurikuler. Bagi keluarga miskin, biaya-biaya non-SPP ini menjadi penghalang utama yang menyebabkan anak-anak mereka putus sekolah, terutama pada jenjang pendidikan menengah. Janji “pendidikan gratis” menjadi tidak bermakna jika tidak diiringi dengan kebijakan intervensi yang komprehensif untuk mengatasi hambatan-hambatan ekonomi di luar biaya SPP.


4.4. Amanat Konstitusi dan Prinsip Maslahah Mursalah


            Persoalan akses dan kualitas pendidikan ini pada dasarnya adalah tentang penunaian janji konstitusi dan menyalurkan kemaslahatan masyarakat. Pasal 31 UUD 1945 secara tegas dan tidak ambigu menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan “pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar”. Angka putus sekolah yang masih tinggi dan jutaan anak yang tidak dapat mengakses pendidikan adalah bukti nyata bahwa negara belum sepenuhnya berhasil menunaikan kewajiban konstitusionalnya tersebut.  


            Dalam kerangka berpikir hukum Islam (ushul fiqh), kebijakan pendidikan dapat dijelaskan melalui prinsip maslahah mursalah. Prinsip ini memungkinkan penetapan suatu kebijakan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umum (maslahah 'ammah) yang tidak diatur secara spesifik oleh dalil nash (Al-Qur'an dan Hadis). Pendidikan yang berkualitas, merata, dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali adalah bentuk maslahah 'ammah yang paling mendasar bagi kemajuan sebuah bangsa dan peradaban. Oleh karena itu, segala kebijakan yang terbukti menghambat terwujudnya kemaslahatan ini, seperti alokasi anggaran yang tidak efisien, pengabaian terhadap kesejahteraan guru, atau sistem yang menciptakan biaya tersembunyi bagi keluarga miskin harus dievaluasi dan direformasi demi mewujudkan kemaslahatan yang lebih besar dan lebih utama.  


4.5 Pernyataan Penutup: Urgensi Sikap PMII dalam Isu Pendidikan


            Urgensi isu ini adalah masa depan bangsa yang dipertaruhkan. Anggaran pendidikan yang besar menjadi sia-sia jika tidak sampai ke akar rumput untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan membuka akses seluas-luasnya bagi anak bangsa. Ini adalah pengkhianatan terhadap cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa”. PMII, sebagai organisasi yang lahir dari rahim intelektual, harus menjadi pengawas paling kritis terhadap tata kelola anggaran pendidikan. Sikap PMII adalah menuntut agar alokasi 20% APBN tidak hanya memuat formalitas konstitusional, tetapi harus diterjemahkan menjadi kebijakan yang radikal untuk mengangkat martabat guru dan memastikan tidak ada satu pun anak Indonesia yang tertinggal karena alasan ekonomi.


Bagian V


Prahara Konstitusi: Amandemen UUD 1945 di Persimpangan Jalan


5.1. Peta Wacana Amandemen Kelima


            Wacana untuk melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945 kembali mengemuka dan memanaskan ruang publik. Isu sentral yang menjadi pemicu utama adalah gagasan untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam format baru yang disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Wacana ini membagi opini publik dan elit politik ke dalam beberapa kutub pemikiran. Pertama, kelompok yang mendukung amandemen dengan argumentasi bahwa UUD 1945 hasil empat kali perubahan sebelumnya masih menyisakan berbagai persoalan dan ambiguitas, sehingga perlu disempurnakan. Kedua, kelompok yang menolak amandemen dan ingin mempertahankan konstitusi yang berlaku saat ini, pemikirannya sudah cukup memadai. Ketiga, kelompok yang lebih radikal, yang menghendaki kembalinya Indonesia ke naskah asli UUD 1945 sebelum amandemen.  


  Perdebatan ini mencerminkan adanya ketidakpuasan terhadap praktik ketatanegaraan saat ini, di mana arah pembangunan nasional dianggap tidak memiliki haluan yang jelas dan konsisten antar periode pemerintahan. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa agenda amandemen “terbatas” untuk PPHN ini dapat menjadi “kuda Troya” bagi kepentingan politik lain yang lebih besar, seperti perubahan masa jabatan presiden atau pengembalian sistem ketatanegaraan ke era pra-reformasi yang sentralistik.  


5.2. Analisis Politik dan Prosedural


            Secara prosedural, mekanisme perubahan UUD 1945 diatur secara ketat dalam Pasal 37. Proses ini memberikan kewenangan eksklusif kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang mencerminkan arsitektur "MPR berat" dalam hal perubahan konstitusi. Prosedur tersebut meliputi: (1) Usul perubahan diajukan oleh minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR; (2) Sidang paripurna untuk membahas usulan harus disampaikan oleh minimal 2/3 anggota MPR; dan (3) Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 harus disetujui oleh minimal 50% plus satu dari seluruh anggota MPR.  


            Secara politik, ini berarti wacana amandemen membutuhkan konsolidasi dan dukungan politik yang sangat solid, terutama dari fraksi-fraksi partai politik di DPR dan kelompok DPD di MPR. Dominasi MPR dalam proses ini menjadi sebuah paradoks, mengingat pasca-amandemen, kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan setara dengan lembaga tinggi negara lainnya. Kedaulatan rakyat tidak lagi mengacu pada MPR, melainkan didistribusikan ke berbagai lembaga negara sesuai amanat konstitusi. Oleh karena itu, setiap upaya amandemen harus melalui proses politik yang kompleks dan memerlukan konteks yang luas untuk mencapai kuorum yang disyaratkan.  


5.3. Urgensi dan Implikasi PPHN


          Argumen utama yang mendukung PPHN adalah perlunya kesinambungan pembangunan nasional jangka panjang yang tidak terputus oleh pergantian rezim setiap lima tahun. Namun, gagasan ini mengandung paradoks fundamental dalam sistem presidensial yang berlaku saat ini. Pasca-amandemen, presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat, bukan kepada MPR. Dengan demikian, MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban presiden.  


    Jika PPHN ditetapkan oleh MPR, tidak ada sanksi yang efektif jika presiden tidak melaksanakannya. Hal ini berpotensi menjadikan PPHN menjadi dokumen politik tanpa kekuatan hukum yang mengikat, atau sebaliknya, jika dipaksakan, akan mengganggu sistem presidensial dan menariknya ke arah sistem parlementer di mana eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif. Lebih jauh lagi, para penentang PPHN berpendapat bahwa fungsi haluan negara sesungguhnya telah diakomodasi oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yang mengatur Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Oleh karena itu, urgensi untuk menghidupkan kembali PPHN melalui amandemen konstitusi menjadi sangat dipertanyakan.  


5.4. Tinjauan Kritis dalam Bingkai Keindonesiaan dan Keislaman


     Konstitusi, dalam perspektif Keindonesiaan, adalah pelepasan dari kontrak sosial dan kesepakatan luhur (konsensus) seluruh komponen bangsa. Perubahan terhadapnya tidak dapat dilakukan secara parsial, tergesa-gesa, atau hanya untuk melayani kepentingan politik pada saat itu. Amandemen harus merupakan sebuah kebutuhan tujuan yang lahir dari evaluasi mendalam dan partisipasi publik yang luas untuk menyempurnakan sistem demi terwujudnya cita-cita negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.  


    Dari perspektif Keislaman, konstitusi dapat dipandang sebagai sebuah perjanjian agung (mitsaqan ghalizha) yang mengikat seluruh warga negara untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (maslahah 'ammah). Oleh karena itu, setiap upaya untuk memodifikasi harus didasarkan pada niat untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar, bukan sebaliknya. Wacana amandemen yang hanya fokus pada penambahan kewenangan satu lembaga tanpa kajian komprehensif terhadap dampaknya pada keseluruhan sistem berisiko merusak keseimbangan (checks and balances) yang telah dibangun dan berpotensi menimbulkan kerusakan (mafsadah) yang lebih besar. Pembaharuan hukum tata negara harus bertujuan untuk memperkuat penegakan hukum, demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia, bukan mencakupnya.  


5.5 Pernyataan Penutup: Urgensi Sikap PMII dalam Mengawal Konstitusi


   Urgensi isu ini adalah potensi pembajakan konstitusi untuk kepentingan politik jangka pendek yang dapat menyumbangkan prinsip-prinsip reformasi dan demokrasi. Amandemen UUD 1945 bukanlah persoalan sepele; ia menjangkau arah dan masa depan bangsa. PMII harus memposisikan diri sebagai gerbang penjaga konstitusi. Sikap PMII harus kritis dan waspada, menolak setiap upaya amandemen yang tidak didasarkan pada kajian akademis yang komprehensif, tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna, dan berpotensi mengembalikan Indonesia ke sistem otoritarianisme. PMII wajib mengawal agar setiap perubahan konstitusi benar-benar bertujuan untuk memperkuat pengawasan rakyat dan keadilan sosial, bukan untuk melanggengkan kekuasaan elite.


Bagian VI


Rekomendasi Kebijakan Kritis-Transformatif


       Berdasarkan analisis komprehensif terhadap isu-isu krusial yang menimbulkan kegelisahan publik, PMII menyusun serangkaian rekomendasi kebijakan yang bersifat kritis-transformatif. Rekomendasi ini menekankan adanya keterkaitan sistemik antar-isu: reformasi fiskal yang adil akan meningkatkan kapasitas negara untuk memuat pendidikan berkualitas dan jaring pengaman sosial yang lebih baik; penegakan hukum yang berintegritas akan mengurangi kebocoran anggaran yang seharusnya dapat dialokasikan untuk program-program pro-rakyat; dan perlindungan tenaga kerja yang kuat akan menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas sosial. Rekomendasi ini ditujukan secara spesifik kepada Pemerintah sebagai eksekutif dan DPR RI sebagai legislatif.


Untuk Pemerintah (Eksekutif)


Bidang Ketenagakerjaan:

A. Membentuk Satuan Tugas Khusus Penanganan PHK Lintas Kementerian yang bertugas memitigasi dampak PHK massal, memfasilitasi dialog antara pengusaha dan serikat buruh, serta memastikan hak-hak pekerja yang ter-PHK terpenuhi secara penuh.


B. Melakukan Revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU Cipta Kerja, khususnya yang mengatur tentang alih daya (outsourcing), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), dan formula pesangon, dengan tujuan utama untuk memperkuat perlindungan dan keamanan kerja (job security) bagi pekerja.


C. Memperluas Cakupan dan Menyederhanakan Prosedur Klaim JKP, termasuk menghapus syarat keterkaitan dengan kepesertaan aktif JKN dan mengkaji kemungkinan perluasan program untuk menjangkau pekerja di sektor informal secara bertahap.


Bidang Fiskal dan Perpajakan:

A. Merumuskan Ulang Arah Reformasi Perpajakan yang fokus pada keadilan (tax justice) dengan mengutamakan perluasan basis pajak (menjangkau shadow economy dan ekonomi digital) serta penegakan hukum yang tegas terhadap praktik penghindaran pajak oleh korporasi.


B. Membatalkan Rencana Kenaikan Target PPh Pasal 21 yang Tidak Proporsional dalam APBN dan mengkaji ulang struktur target penerimaan pajak agar beban fiskal tidak ditransfer secara tidak adil kepada kelas pekerja.


Bidang Hukum dan Keamanan:

A. Membentuk Tim Independen Pencari Fakta dan Perumus Kebijakan Reformasi Polri, yang melibatkan unsur Komnas HAM, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil, untuk menyusun peta jalan reformasi Polri yang komprehensif, mencakup revisi doktrin, realokasi anggaran, dan penguatan mekanisme pengawasan eksternal yang efektif.


B. Menggunakan Kewenangan Konstitusional untuk Menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perampasan Aset, jika jalur legislasi di DPR terus mengalami kebuntuan politik. Langkah ini diperlukan sebagai terobosan hukum untuk menyelamatkan aset negara dan memberikan efek jera yang nyata bagi koruptor.


Bidang Pendidikan:

A. Melakukan Audit Nasional terhadap Efektivitas Penggunaan Dana BOS dan TKD Pendidikan untuk mengidentifikasi inefisiensi, kebocoran, dan merancang ulang mekanisme penyaluran serta pengawasan agar lebih tepat sasaran dan akuntabel.


B. Merumuskan Kebijakan Afirmatif untuk Peningkatan Kesejahteraan dan Status Guru Kehormatan secara Nasional, dengan target penyelesaian yang jelas dan terukur, sebagai prasyarat utama untuk peningkatan kualitas pendidikan nasional.


 


Untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI


Fungsi Legislasi:

A. Segera Memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas Prioritas dan membahasnya secara terbuka, transparan, serta partisipatif untuk memastikan pengesahannya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.


B. Dimulainya Proses Revisi UU Cipta Kerja, khususnya Klaster Ketenagakerjaan, dengan melibatkan partisipasi yang bermakna dari serikat pekerja/serikat buruh untuk menghasilkan regulasi yang lebih adil dan berimbang.


C. Menginisiasi Revisi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan fokus utama untuk memperkuat lembaga pengawas eksternal seperti Kompolnas dengan memberikan kewenangan yang lebih kuat dan mengikat.


Fungsi Anggaran:

A. Melakukan Peninjauan Ulang dan Realokasi terhadap Anggaran Polri, dengan mengurangi porsi anggaran untuk belanja almatsus yang bersifat represif dan mengalihkannya ke program-program peningkatan profesionalisme SDM, pelatihan HAM, dan penguatan fungsi pelayanan masyarakat.


B. Memperketat Pengawasan terhadap Alokasi dan Penggunaan TKD untuk Sektor Pendidikan melalui mekanisme rapat dengar pendapat dengan pemerintah daerah dan audit kinerja oleh BPK, untuk memastikan anggaran pendidikan benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas di tingkat sekolah.


Fungsi Pengawasan:

A. Memanggil Kapolri untuk meminta pertanggungjawaban atas serangkaian kasus kekerasan aparat dan memastikan adanya proses hukum yang transparan dan adil terhadap para pelaku, termasuk di tingkat komando.


B. Membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk Mengevaluasi Implementasi UU Cipta Kerja dan dampak sosial-ekonominya secara komprehensif, sebagai dasar untuk melakukan revisi legislasi yang berbasis bukti dan aspirasi publik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komparasi Soeharto dengan Gus dur dan yang layak menjadi pahlawan bangsa

Karya Tulis Mahbub Djunaidi